Patah Tulang


Belajar dari Selaka Kiri
Oleh Arie
(ariesampit313@gmail.com)
Ketika sadar, aku sudah di poliklinik.
Beberapa menit sebelumnya, sepeda motor pinjaman yang ingin aku bawa ke tempatku, Pondok Mulungan, Yogyakarta, ada di belakang sebuah mobil, beriringan seperti lalu lintas pada umumnya. Sebuah sepeda ontel ada di sebelah kanan mobil itu. Aku tidak tahu dia mau belok ke kanan, maka aku balap saja. Begitu dia belok kanan, aku terpaksa banting kiri. Bukan salah mobil di belakang yang menabrakku, itu alamiah.
Tidak kuketahui kronologis berikutnya karena aku pingsan. Kata orang, ada penduduk lokal yang membawaku ke poliklinik. Orang asli jogja terkenal baik hati memang. Orang baik ini menelepon ke orang-orang yang dia kira patut dikabari, menggunakan telepon selularku.
Danul, teman pondokku, datang tidak lama kemudian. Aku sudah sedikit tenang, paling tidak sudah ada teman yang bisa membantu. Namun kemudian, aku dikabari bahwa poliklinik menyarankan rujuk ke Rumah Sakit Panti Rapih. Itu karena diprediksi ada tulang yang patah di sekitar bahu kiri.
Patah tulang? Oh, tidak. Ini kali pertama aku mengalaminya. Lengan kananku memang sedari tadi terasa terbatas pergerakannya. Sakit kalau dipaksa bergerak. Mau tidak mau memang harus di rontgen untuk hasil akurat.
Ambulance disiapkan, kami menuju Panti Rapih, setelah membayar Rp 225 ribu untuk ongkos perawatan, jahit luka di dahi kiri, dan ambulance.
Orang tuaku di Sampit, Kalimantan Tengah, rupanya sudah mendengar kabar aku kecelakaan. Mereka adalah yang paling panik dari semuanya, terutama ibu. Bapak relatif tenang, yang dengan sigap menelepon ke kerabat di Jogja untuk membantu aku. Tidak sampai dua jam kemudian, kerabat-kerabatku dari Wonosari datang.
Aku ingin berterima kasih atas kedatangan mereka, tapi mulut ini sulit bicara. Bahkan ibuku yang suaranya sudah di ujung telingaku saja, tidak sanggup aku menjawabnya. Aku masih shock.
Entah suster, entah dokter, dia datang lalu meminta aku rontgen. “Kalau seputar bahu Rp 100 ribu, kalau kepala Rp 600 ribu, mau yang mana?” katanya.
“Kok kepala? Buat apa?” kata Danul.
“Mungkin ada cedera di kepalanya, kita periksa juga. Dia kan pusing. Ya kan?” tanya dia, mengarah kepadaku.
Aku jawab, “Iya, memang aku pusing, tapi itu karena belum buka puasa.” (Waktu itu sekitar jam 7 malam).
Kami ingin tertawa melihat ekspresi si suster. Tapi tahan saja lah.
Hasil rontgen bahu memperlihatkan tulang selaka kiriku patah. Ini bukan terkilir, jelas sekali patah. Astaghfirullah, sudah kuprediksi.
Makin banyak temanku yang datang. Mereka sudah menyiapkan mobil, kalau-kalau keputusannya ingin pulang atau mau berobat ke tempat lain.
Kalau berobat di sini, biaya operasinya saja Rp 5,5 juta. Itu belum platinanya, perawatannya, obatnya, kamarnya, dll. Yang lain-lain ini yang sangat buram. Aku pikir, lebih baik berobat di tempat pijat tulang atau orang sini menyebutnya sangkal putung.
Begitu mendengar keputusan kami hendak pulang, si suster bilang, “Hati-hati dengan pengobatan tradisional, karena di sekitar tulang selaka itu banyak urat saraf yang riskan kalau penanganannya salah. Ini bukan menakut-nakuti loh…”
Tapi jelas itu menakut-nakuti, karena dia bicara begitu di depan semua orang, termasuk aku. Apa tidak lebih baik dia bicara begitu di luar dengan salah satu perwakilan. Lagipula, bukan ranah dia buat bicara begitu. Itu urusan dokter.
Kami tetap memutuskan ke sangkal putung. Tapi untuk keluar dari sini saja butuh lebih dari sejam. Aku merasa sejak keputusan tadi, pelayanan suster berubah. Seorang laki-laki (suster laki-laki sebutannya apa ya?) meminta semua penjenguk keluar lalu menutup gorden. Tiba-tiba dia memukul tepat di bagian tulang yang patah. Uh, sakit sekali. Sampai sekarang aku tidak tahu maksudnya apa. Setelah itu dia membalut tali agar tulang tidak banyak bergerak.
Belum lagi, untuk bayar di loket itu ngantrinya lama minta ampun, lebih dari setengah jam. Padahal itu mau bayar loh, bukan mau kabur. Kami kena setengah juta lebih. Itu berlebihan buatku. Tadi memang disuntik dua kali, tapi si suster cuma bilang disuntik dulu ya. Tidak dijelaskan itu suntik buat apa. Apa boleh ditolak atau tidak.
Aku kecewa dengan Panti Rapih yang katanya jadi rumah sakit terbaik di Jogja.
Setelah makan, aku pulang. Tadinya mau langsung ke tempat sangkal putung, tapi kelihatannya jam 11 malam begini sudah tutup. Besok pagi sajalah.
Setelah subuh, kami berangkat. Tempatnya di daerah Mbeiji, Kulon Progo. Menuju ke sana harus lewat jalan rusak yang terus menanjak. Aku pun tidak menyangka di tengah hutan begini ada bangunan bagus tempat pengobatan pijit tulang. Berbagai suara burung mengklarifikasi memang ini betul pedalaman.
Satu bangunan utama buat tempat pengobatan, selebihnya kamar-kamar yang disewakan Rp 100 ribu per hari (termasuk makan 3x buat pasien). Tidak ada yang mengesankan dari bangunan utama, hanya ruangan dengan penerangan minim berisi dipan.
Di dipan itulah tulangku dibuat seperti mainan. Digerakkan ke sana, diputar ke sini. Dia seperti seorang bocah yang sedang menyusun puzzle. Dan aku sebagai puzzle nya.
Tapi dia hebat. Ganjalan yang sebelumnya ada, sudah hilang. Aku merasa jauh lebih nyaman. Hanya 15 menit tanpa antri aku sudah merasa lebih baik. Padahal tadi malam di Panti Rapih aku habis tiga jam lebih dan tidak puas dengan pelayanannya.
Ongkosnya pun jauh lebih murah, cuma Rp 50 ribu! Tidak ada obat, tidak ada tali temali. Aku hanya disuruh kembali minggu depan.
Berhari-hari kerjaanku hanya istirahat, makan, dan nonton. Bosan sih, tapi mau bagaimana lagi. Obat utama patah tulang ya istirahat itu. Tapi aku juga berinisiatif menambah susu tinggi kalsium dan tablet tinggi kalsium dan vitamin D.
Tiga hari kemudian, bapak datang. Walau sudah dibilang tidak apa-apa, bapak tetap datang dari Sampit. Beliau meninggalkan kerjaannya. Ya begitulah orang tua. Bahkan terkadang mereka lebih cemas dari yang dicemaskan.
Bapak membeli obat Cina seharga beberapa ratus ribu. Aku lihat komposisi obatnya, di situ ada lumbricus alias cacing tanah. Cina edan! Tapi terkenal pengobatan mereka hebat.
Terbukti, minggu depannya, ketika aku kembali ke sangkal putung. Si tukang pijit bilang, “Cepat betul sudah sambung begini. Kalau begini tidak perlu kembali lagi.”
Alhamdulillah. Esoknya aku dan bapak pulang ke Sampit. Itu setelah didesak-desak ibu yang tidak percaya keadaanku tidak separah yang ia bayangkan. Kami memahami kecemasan ibu.
Dari kejadian ini, aku banyak belajar. Tentang kehati-hatianku di jalan raya. Tentang cinta kasih orang tua. Tentang metode pengobatan formal dan informal. Ini cara Allah mengajariku. Allah Maha Tahu.